DPR Sahkan RUU Energi Hijau 2025: Era Baru Indonesia Dimulai

Energi Hijau

Era Baru Transisi Energi Dimulai

wartanusantarapost.com – Akhir Juli 2025, DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Hijau 2025 (RUU-EH 2025) setelah melalui proses pembahasan selama lebih dari dua tahun. Pengesahan ini menandai dimulainya era baru transisi energi bersih di Indonesia, sekaligus menjadi tonggak penting dalam upaya mencapai target emisi nol bersih (net zero) pada 2060.

Pemerintah menyebut UU ini sebagai peta jalan hukum pertama yang secara komprehensif mengatur percepatan pengembangan energi terbarukan dan pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil.

UU ini mewajibkan bauran energi terbarukan nasional mencapai 34% pada 2030, memandatkan penghapusan PLTU batubara secara bertahap mulai 2035, dan mewajibkan BUMN serta swasta besar menanam minimal 20% investasi energi baru terbarukan (EBT) dari total portofolio energi mereka.


Latar Belakang dan Urgensi RUU

Selama ini, Indonesia masih sangat bergantung pada batubara yang menyumbang lebih dari 60% produksi listrik nasional. Ketergantungan ini membuat emisi karbon Indonesia termasuk tertinggi di Asia Tenggara, sekaligus membuat perekonomian rentan terhadap fluktuasi harga energi global.

Krisis iklim dan tekanan internasional membuat pemerintah dipaksa bergerak cepat. Dalam Konferensi Perubahan Iklim COP28 di Dubai, Indonesia berkomitmen memangkas emisi karbon hingga 31% pada 2030 dan menargetkan net zero pada 2060 atau lebih cepat.

Namun target ini mustahil tercapai tanpa payung hukum yang jelas. Karena itu, lahirlah RUU Energi Hijau yang mengikat pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku industri untuk bergerak serempak mempercepat transisi energi bersih.


Isi Pokok RUU Energi Hijau 2025

RUU ini terdiri dari 14 bab dan 86 pasal yang mencakup berbagai aspek strategis. Beberapa poin pentingnya antara lain:

  • Bauran Energi Nasional: target minimal 34% energi terbarukan pada 2030, 60% pada 2045, dan 100% pada 2060.

  • Penghapusan Batubara: moratorium pembangunan PLTU baru mulai 2026, penghapusan bertahap seluruh PLTU pada 2050.

  • Subsidi Energi Terbarukan: insentif fiskal dan nonfiskal untuk PLTS atap, PLTB, panas bumi, bioenergi, dan energi laut.

  • Kewajiban Investasi Hijau: perusahaan besar wajib alokasikan 20% investasi energi mereka pada EBT mulai 2027.

  • Skema Perdagangan Karbon Nasional: pembentukan bursa karbon dan mekanisme cap-and-trade untuk industri intensif emisi.

  • Penguatan Riset dan SDM: pendanaan khusus riset teknologi hijau dan pelatihan tenaga kerja transisi energi.

Ketentuan ini bersifat mengikat dan disertai sanksi administratif maupun pidana bagi pelaku usaha yang melanggar.


Respons Dunia Usaha

Banyak pengusaha menyambut positif UU ini karena memberi kepastian arah kebijakan jangka panjang. Kepastian ini penting bagi investor yang selama ini ragu menanamkan modal besar di sektor EBT karena belum ada regulasi permanen.

Asosiasi Pengusaha Energi Terbarukan (Aperta) menyebut UU ini akan menjadi game changer karena membuka akses pendanaan global, terutama dari lembaga keuangan hijau internasional seperti ADB, World Bank, dan Green Climate Fund.

Namun pengusaha batu bara menyuarakan kekhawatiran besar. Mereka khawatir percepatan penghapusan PLTU akan menimbulkan lonjakan PHK, anjloknya pendapatan daerah penghasil batubara, serta penurunan PNBP dari sektor ini.

Sebagai kompensasi, pemerintah menyiapkan dana transisi (just energy transition fund) sebesar Rp150 triliun yang akan digunakan untuk pelatihan ulang pekerja batubara, pembangunan industri hijau baru di wilayah tambang, dan subsidi tarif listrik agar harga tidak melonjak.


Dampak pada Ekonomi dan Investasi

Pengamat menilai pengesahan RUU Energi Hijau 2025 akan membawa dampak ekonomi besar, baik jangka pendek maupun panjang.

Dalam jangka pendek, permintaan alat dan teknologi EBT akan melonjak. Ini menciptakan peluang bisnis bagi manufaktur lokal, perusahaan konstruksi, serta sektor logistik. Proyek pembangunan PLTS, PLTB, dan PLTP diproyeksikan menyerap lebih dari 500.000 tenaga kerja baru hingga 2030.

Dalam jangka panjang, transisi energi akan meningkatkan ketahanan ekonomi nasional karena mengurangi ketergantungan impor BBM, memperkuat neraca perdagangan, dan menurunkan biaya kesehatan akibat polusi udara.

Bank Indonesia memperkirakan investasi hijau akan menambah pertumbuhan ekonomi 0,8–1,2% per tahun jika dijalankan konsisten dan didukung insentif fiskal yang kuat.


Perubahan di Sektor Industri dan Transportasi

UU Energi Hijau ini juga akan mengubah peta industri dan transportasi nasional. Industri padat energi seperti semen, baja, pupuk, dan tekstil diwajibkan mengurangi emisi secara bertahap dan memakai minimal 25% listrik dari energi terbarukan pada 2030.

Sektor transportasi diwajibkan mengalihkan 50% armada angkutan umum perkotaan menjadi kendaraan listrik pada 2035. Pemerintah juga memberikan insentif besar untuk investasi pabrik baterai, daur ulang baterai, dan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).

Semua langkah ini diharapkan mendorong lahirnya industri hijau baru yang bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah era batubara berakhir.


Tantangan Implementasi di Lapangan

Meski ambisius, implementasi UU ini akan menghadapi tantangan berat. Pertama, biaya awal pembangunan infrastruktur EBT sangat mahal. PLTB dan PLTS memerlukan jaringan transmisi baru dan teknologi penyimpanan Energi Hijau (baterai) yang masih langka di Indonesia.

Kedua, masalah birokrasi. Selama ini izin pembangunan proyek EBT memakan waktu hingga dua tahun karena tumpang tindih regulasi pusat dan daerah. Tanpa reformasi perizinan, target EBT sulit tercapai.

Ketiga, resistensi politik. Banyak daerah penghasil batubara yang khawatir kehilangan PAD, sehingga dikhawatirkan akan menghambat implementasi di lapangan.

Keempat, masih minimnya SDM terampil di bidang energi terbarukan. Pemerintah perlu mempercepat pelatihan teknisi, insinyur, dan manajer proyek EBT.


Harapan Masa Depan: Indonesia Sebagai Raksasa Energi Hijau Asia

Banyak analis menilai Indonesia berpotensi menjadi raksasa energi hijau Asia jika implementasi UU ini berjalan konsisten.

Indonesia punya potensi EBT luar biasa: 207 GW tenaga surya, 95 GW tenaga air, 60 GW tenaga angin, 29 GW panas bumi, dan 57 GW bioenergi. Selama ini baru kurang dari 15% yang dimanfaatkan.

Dengan kombinasi sumber daya besar, pasar domestik raksasa, dan payung hukum jelas, Indonesia bisa menjadi produsen dan pengekspor teknologi energi hijau, sekaligus menciptakan jutaan lapangan kerja hijau berkualitas tinggi.

Kesuksesan transisi energi juga akan meningkatkan citra Indonesia di mata dunia, membuka akses pendanaan global, dan memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi iklim internasional.


Penutup: Lompatan Besar Menuju Masa Depan Bersih

RUU Energi Hijau 2025 menandai keberanian Indonesia mengambil langkah besar keluar dari ketergantungan batubara menuju masa depan energi bersih.

Tantangan memang besar: pendanaan, birokrasi, resistensi politik, dan kesiapan SDM. Tapi manfaatnya jauh lebih besar: udara bersih, ekonomi tangguh, dan generasi masa depan yang hidup tanpa ancaman krisis iklim.

Pengesahan UU ini bukan akhir, melainkan awal dari revolusi energi yang akan menentukan wajah Indonesia pada abad ke-21.


📚 Referensi