ISSES Nilai Bripka Rohmat Lindas Affan Ojol karena Situasi Chaos, Singgung Kasus Sambo
wartanusantarapost.com – Pengamat kepolisian dari ISSES (Institute for Security and Strategic Studies) menilai bahwa tindakan Bripka Rohmat dalam insiden rantis Brimob melindas pengemudi ojol Affan Kurniawan lebih dipicu oleh situasi chaos saat itu. Pernyataan ini disampaikan saat membandingkan respons institusi terhadap pelanggaran etik, merujuk juga pada kasus Ferdy Sambo sebagai referensi. Dengan gaya bahasa lugas, pengamat ini membuka diskusi penting tentang kultur dan prosedur Polri yang sedang diuji di tengah krisis publik.
Artikel ini akan membahas lebih dalam analisis ISSES, menjelaskan latar belakang kasus Bripka Rohmat, serta implikasi kritik yang menyinggung kasus Sambo bagi profesionalisme Polri dan kepercayaan publik.
ISSES Jadikan Kasus Sambo Sebagai Referensi Budaya Institusional Polri
Pengamat ISSES menyebut bahwa kasus Ferdy Sambo bukanlah sekadar drama individu, tapi mencerminkan persoalan struktural di institusi Polri—tentang bagaimana anggota tinggi bisa melewati proses etik dan hukum secara berlahan. Kasus itu menjadi cermin bagi penanganan pelanggaran di level bawah, seperti yang dialami Bripka Rohmat.
Pendekatan ini diambil agar publik dan penegak hukum dapat melihat akar masalah: apakah tindakan tersebut merupakan hasil perilaku individu semata, atau bagian dari sistem yang retak. Dalam berbagai pernyataannya, pengamat mengingatkan bahwa profesionalisme dan prosedur harus tegas berlaku untuk semua tingkatan.
Dengan menyinggung kasus Sambo, ISSES mendorong agar proses etik dan pidana terhadap pelanggar di Polri dilakukan dengan konsisten dan adil—tanpa perlakuan istimewa karena jabatan.
Analisis ISSES terhadap Insiden Bripka Rohmat dalam Situasi Chaos
Menurut ISSES, Bripka Rohmat seharusnya dinilai bukan hanya dari hasil tindakan, tetapi juga konteks saat insiden terjadi—yaitu situasi kerusuhan yang penuh kekacauan dan tekanan tinggi. Pengamat menyebut bahwa aspek psikologis dan lingkungan seharusnya diperhitungkan dalam persidangan etik maupun hukum.
Situasi tersebut tampak dalam rekaman yang menunjukkan asap tebal, massa yang panik, dan komunikasi terbatas. ISSES menilai bahwa petugas yang berada dalam kondisi ekstrem semacam itu memiliki risiko membuat keputusan terburu-buru. Meski demikian, mereka menekankan bahwa prosedur keselamatan dan kontrol masih wajib dipertahankan.
Pendekatan ini bukan untuk membenarkan, tapi untuk menilai seimbang antara tanggung jawab individu dan faktor eksternal. Hal ini penting agar penanganan kasus memberikan pelajaran bagi institusi dalam mencegah insiden serupa.
Sidang Etik dan Proses Hukum: Reaksinya terhadap Tekanan Publik
Saat ini, Divpropam Polri telah menetapkan Bripka Rohmat sebagai pelanggar berat dan menjadwalkan sidang etik pada 4 September 2025. Kompolnas juga aktif mengawasi jalannya sidang dan mendesak agar prosesnya tidak hanya etik, tetapi juga dipertimbangkan untuk dilanjutkan ke ranah pidana.
Publik dan media menyoroti bahwa kasus ini menjadi indikator kredibilitas Polri dalam menghadapi tragedi yang berdampak pada korban sipil. Sikap kritis ISSES dan institusi lain menunjukkan adanya tuntutan transparansi dan akuntabilitas penuh—dari awal penyidikan hingga putusan akhir.
Penutup – Kritik ISSES sebagai Panggilan Reformasi Polri
Pandangan dari ISSES yang membandingkan kasus Sambo dan insiden Bripka Rohmat merupakan panggilan penting bagi reformasi. Polri dituntut untuk tidak hanya menghukum secara etik, tetapi juga memperbaiki sistem agar insiden serupa tidak terulang.
Situasi chaos bukan pembenaran, tapi tantangan yang harus diantisipasi dengan pelatihan dan prosedur kuat. Polri perlu menjaga kepercayaan publik lewat tindakan yang adil, transparan, dan tanpa diskriminasi—tanpa memandang level jabatan.
Analisis ini mengajak seluruh lapisan penegak hukum dan masyarakat untuk mendorong perubahan—supaya institusi tetap profesional dan melindungi, bukan justru menciptakan korban baru di tengah krisis.